Selasa, 27 April 2010


28 Feb 2010
Lelah meniti sunyinya hari..
Menghitung detik demi detik waktu yang berlalu dengan jemari mungil ini..
Tanpa kusadari terlalu banyak yang kutinggalkan dan kuabaikan..
Tak peduli pada panasnya mentari.. kilaunya rembulan.. sakitnya luka.. jam, menit, detik aku tertawa … menyentuh kesejukan embun..
Aku tak terlalu peduli pada bunga- bunga semerbak mewangi di taman..
Tak peduli menanyakan tentang asa sendiri kepada mega beriringan yang kemerah-merahan di waktu senja..
kepastian akan datangnya hujan yang membasahi sepetak tanah kering di hatiku.. aku tak berani…
aku tak nyali…
bodoh!
Aku mati rasa..
Ya… itulah yang dikatakan bisikkan waktu
yang memacu hari dan tak pernah berhenti..
sepetak tanah kering itu lama- lama meluas.. dan hampir mematikan..
namun aku tak berani menanyakan hujan yang mungkin datang..
jawaban yang tak pernah ku tahu kapan datangnya..
menyisihkan sedikit waktu, berbaring menatap mega beriringan di sore hari..
terbangun aku hanya bisa tertunduk lesu..
pada siapa? Entahlah..
aku tak berani berharap.
Pecundang sejati..
kelak ku akan menantikannya..
hujan..



01 Maret 2010
Lembayung merona memandangi mega berarakan di suatu senja..
Aku membiarkan semilir angin meniup remahan hati yang dahulu berbentuk ini..
Hilang dari lapang pandangku.. dari genggamanku..
Mataku tak berniat menganak sungai..
Walaupun sepertinya tubuh ini memaksaku..
Aku tidak menginginkannya..
Seonggok Sampah yang harus di buang..
Ya…
Sudah kubuang..
Kubiarkan angin meniupnya.. membawanya jauh…
warna yang cerah itu telah tenggelam bersama dengan mentari senja
Menuju palung terdalam samudera..
Tiada sesal… tiada kenang…
Bagai sampah yang harus dibuang..
Demikianlah aku menghempaskan remahan itu bersama angin…
Remahan dari sebentuk hati terbaik yang pernah kumiliki..

2 komentar:

  1. hehehehe
    selamat datang di dunia bloger
    kita so follow
    jangan lupa blog walking ya..
    yang rajin
    hehehehe

    BalasHapus
  2. # Seiri: hehe iya buw dokter... :)

    BalasHapus